dika. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

B. #14 = Rasisme Abad ke-19 dan Anti-Semitisme Modern

Walau demikian, masih tersisa satu pilihan. Karena ideologi telah menggantikan agama, sebuah ideologi dapat digunakan untuk menghentikan pembauran.

D sini, kaum Zionis menemukan sesuatu yang sangat berguna: suatu ideologi baru yang kukuh menentang pembauran kaum Yahudi berkembang kian pesat di Eropa. Ideologi itu adalah rasisme modern yang berlandaskan pada positivisme (pandangan bahwa yang penting adalah apa yang bisa diindra dan diukur) abad ke-19 dan diperkuat oleh teori evolusi Darwin. Selama abad ke-19, ahli-ahli teori yang rasis bermunculan di seluruh Eropa. Para ahli teori ini, saat mengamati bahwa umat manusia terdiri dari ras-ras yang berbeda, menganggap bahwa watak terpenting seorang manusia adalah rasnya. Suatu ras tidak dapat menghadapi resiko lebih besar daripada kehilangan kemurniannya lewat percampuran dengan ras-ras lain.

Pada saat yang sama, para ahli teori rasial, terutama di Jerman, namun juga di negara-negara lain, memaparkan teori-teori anti-Semit. Dengan mengemukakan perbedaan-perbedaan antara ras Arya dan Semit, mereka menyatakan bahwa kaum Yahudi telah mencemari kemurnian rasnya sendiri dengan hidup di antara bangsa Eropa. Menurut para pemikir ini, kaum Yahudi harus dikucilkan, dan perkawinan dengan mereka dicegah. Kebencian fanatik terhadap kaum Yahudi yang berdasarkan pada seruan melakukan pengucilan sosial ini dikenal sebagai anti-Semitisme modern – modern, sebab menentang kaum Yahudi bukan karena agamanya sebagaimana di Abad Pertengahan, melainkan karena rasnya. Anti-Semitisme mencapai puncaknya pada Kasus Dreyfus yang terkenal. (Alfred Dreyfus adalah seorang tentara Perancis berkebangsaan Yahudi yang dituduh menjual rahasia negara.)

Di sini, kita menemukan suatu fakta yang amat menarik. Bukan hanya kaum rasis Eropa yang merasa tak nyaman dengan pembauran Yahudi. Juga ada kelompok lain yang merasa terancam – atas nama ras Yahudi. Merekalah kaum Zionis, yang menganggap keyahudian bukan sebuah agama, melainkan jatidiri kebangsaan. Ini sebuah gambaran yang menarik. Tak satu pun dari kedua pihak menginginkan kaum Yahudi bercampur di luar rasnya; yang satu ingin menjaga Yahudi agar tetap terpisah, sementara yang lain ingin melindungi jatidiri keyahudiannya. Karena itu, mengapa mereka tidak bekerjasama?

Tanggapan langsung atas pertanyaan ini datang dari Theodor Herzl, pendiri Zionisme


sumber = harunyahya.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Grunge, Psychedelic, NAZI

Pengikut