dika. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

B. #27 = Kebijakan “Penyaringan Yahudi” Zionisme

Di halaman-halaman sebelum ini, kami telah menegaskan betapa gembiranya kaum Zionis dengan kebijakan-kebijakan anti-Semit kaum Nazi. Alasannya amat sederhana: semakin menderita kaum Yahudi di Eropa, semakin mudah membujuk mereka agar pindah ke Palestina. Setelah perang, para Zionis memainkan kartu anti-Semitisme untuk menciptakan kesepakatan umum bahwa satu-satunya jalan menyelamatkan kaum Yahudi adalah membiarkan mereka memiliki negara sendiri. Tidaklah mengejutkan bahwa negara Israel akan disodorkan sebagai sebuah negara bagi korban-korban penganiayaan, sebuah pengungsian bagi kaum Yahudi yang lari dari cengkeraman keji anti-Semitisme. Namun, menampilkan Israel sebagai sebuah tempat perlindungan bagi kaum Yahudi teraniaya tak lebih daripada dusta. Ini mungkin tampak sebuah pernyataan yang tergesa-gesa, namun akan terbukti benar ketika kebijakan seenaknya-sendiri kaum Zionis dalam meningkatkan pemindahan kaum “elit” Yahudi dimengerti.

Singkatnya, “elitisme” ini dapat digambarkan sebagai berikut: meskipun mendukung gelombang anti-Semit yang akan mempengaruhi seluruh Yahudi Eropa, kaum Zionis ingin memindahkan hanya orang-orang Yahudi tertentu ke Palestina. Para Zionis tak menginginkan kerumunan Yahudi “tak berguna” di Palestina. Orang Yahudi yang disukai ke Palestina adalah yang akan berharga bagi tanah air Yahudi: misalnya, kaya, terpelajar, pemuda, dan berbulat tekad. Jelas, para Zionis sangat menentang pemindahan kaum Yahudi yang tak acuh, pasrah, tanpa keahlian, dan di atas segalanya, tua. Sebuah kebijakan yang disebut “No Nalewki” (Bukan Nalewki) diberlakukan oleh WZO. Nalewki adalah sebuah ghetto besar di Warsawa, yang umumnya diisi oleh orang-orang Yahudi Polandia yang tak terdidik, terabaikan, tua, dan berpenyakit. Para pemimpin WZO menyatakan tegas-tegas bahwa mereka tak ingin menciptakan sebuah Nalewki baru di Palestina. Apa yang akan terjadi dengan Yahudi Nalewki, dan Yahudi lainnya yang “tak memenuhi syarat”? Mereka akan menderita di bawah kekuasaan Nazi, tentunya dengan bantuan Zionis. Untuk membujuk orang Yahudi yang disukai agar pindah, para Zionis dapat berpura-pura tak melihat penderitaan golongan Yahudi lainnya, bahkan, mereka mampu berperan menyebabkan penderitaan itu. Sebagaimana Brenner menulis:

Adalah kebijakan “No Nalewki” – ghetto besar di Warsawa – yang menjauhkan Zionisme dari kaum awam Yahudi, yang kebanyakan bukan Zionis, dan bahkan dari kalangan gerakan Zionis Diaspora. Mereka tak memiliki keahlian dan sumber daya yang dibutuhkan di Palestina, dan untuk selanjutnya Zionisme tak akan melayani mereka; para calon pemukim akan disaring ketat demi kepentingan Zionisme. Di Palestina sendiri, WZO memutuskan bahwa para pengangguran harus didorong agar kembali ke negara asal.

Hari-hari teror yang dikenakan kepada orang-orang Yahudi oleh kemenangan Nazi dalam pemilu Maret 1933 telah membuat ribuan Yahudi berkerumun di jalan di luar Kantor Palestina di Berlin, namun masih tiada keinginan mengubah Palestina menjadi sebuah pengungsian yang sebenarnya. Pemindahan harus berlangsung demi memenuhi kepentingan Zionisme. Hanya para Zionis muda, sehat, memenuhi syarat, dan bertekad bulat yang diinginkan. German HaChalutz Pioneers menyatakan pemindahan ke Palestina yang tak dibatasi adalah sebuah “kejahatan Zionis”.

Pemimpin WZO Chaim Weizmann termasuk pembuat kebijakan elitis ini. Laporannya di Januari 1934 mendaftarkan sejumlah persyaratan baku yang digunakan memilih pendatang ke Palestina yang berpeluang. Mereka yang berumur lebih dari 30 tahun, tak bermodal, dan tak berkeahlian tidak bisa diserap oleh Palestina. Nyatanya, kebanyakan Yahudi Jerman tak diinginkan bagi Palestina: mereka terlalu tua, atau pekerjaannya tak berkaitan dengan kebutuhan negara, atau tak menguasai bahasa Ibrani, atau tak bertekad ideologis. Jadi, relatif hanya segelintir Yahudi “terpilih” dipindahkan ke Palestina, sekalipun kebijakan-kebijakan Nazi berat menimpa semua Yahudi Jerman.

Tahun 1937, Weizmann mengatakan kepada Kongres Zionis bahwa jawabannya bagi pertanyaan apakah mereka dapat membawa enam juta Yahudi ke Palestina adalah tidak. Ia memaparkan bahwa ia ingin menyelamatkan kaum pemuda, sebab para manula memiliki sedikit sisa umur. Hanya yang muda akan bertahan; para manula harus menanggung takdirnya, entah mampu atau tidak.

Sudut pandang ini tak pernah berubah di antara kepemimpinan Zionis. Ketua sebuah panitia Zionis yang dibentuk demi menyelamatkan Yahudi Eropa, Yitzhak Greenbaum, berkomentar pada tahun 1943 bahwa jika ia harus mengambil satu dari dua pilihan – masyarakat Yahudi atau tanah Israel – ia akan memilih menyelamatkan Israel.

Antara 1933 dan 1935, dua pertiga dari seluruh kaum Yahudi Jerman yang melamar surat kepindahan ke Palestina ditolak oleh kaum Zionis, yang mengendalikan penjatahan surat itu.

Singkatnya, pintu ke Palestina ditutup bagi Yahudi Jerman yang tak memenuhi syarat-syarat Zionis. Para Yahudi ini lalu berusaha pindah ke negara lain untuk lari dari penindasan Nazi yang meningkat. Mereka mengira dapat selamat dari anti-Semitisme dengan berpindah ke Amerika Serikat atau Inggris. Namun, sekali lagi mereka kecewa, karena pihak Zionis telah menutup pintu tak hanya ke Palestina, melainkan juga ke Amerika Serikat, Inggris, dan setiap tempat pengungsian aman lainnya. Dalam sejarah, ini menjadi salah satu pengkhianatan terbesar atas suatu bangsa oleh para pemimpinnya sendiri.


sumber = harunyahya.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Grunge, Psychedelic, NAZI

Pengikut